Muda Cantik Berhati Mulia, Dokter Asal Lamongan Dan Kisah Pilu Pengunsi Rohingya


Gambar diolah via merdeka.com

Luar biasa...

Kali ini kisah ispiratif datang dari seorang dokter cantik asal Lamongan, Jawatimur. Dokter cantik ini suka rela berangkat ke Bangladesh demi saudara- saudara muslim rohingnya yang mengunsi dan membutuhkan pertolongan medis. MasayaAllah.

Hatinya tergerak saat melihat kekerasan yang menimpa penduduk Rohingya di Rakhine, Myanmar. Dokter Zuhdiyah Nihayati langsung mendaftar untuk menjadi relawan kesehatan Indonesia untuk Rohingya.

"Tidak ada alasan saya tidak pergi. Saya harus ke sana membantu para pengungsi. Walau sekecil apapun bantuan yang bisa saya berikan," kata dokter Zee, panggilan akrabnya, saat ditemui  di Cox's Bazar Bangladesh akhir Desember lalu seperti dilansir dari merdeka.com.

Usianya baru 32 tahun, tapi dokter dari RS Muhammadiyah Lamongan ini dipercaya memimpin tim ketujuh Indonesia Humanitarian Alliance (IHA) di Bangladesh. Ada empat dokter dan dua perawat di timnya.


Dokter Indonesia di Bangladesh. ©2018 FOTO: IHA dan dokter Zee

Aliasi Kemanusiaan Indonesia.

Aliasi Kemanusiaan Indonesia adalah tim yang dibentuk oleh Kementerian Luar Negeri RI bersama delapan organisasi. Dompet Dhuafa, PKPU, Rumah Zakat, Muhammadiyah Aid, LMI, Lazis Wahdah, DPU Daarut Tauhid dan Tim Kemanusiaan Nahdlatul Ulama.

Kekerasan secara sistematis yang terjadi sejak Agustus 2007 lalu di Rakhine membuat ratusan ribu pengungsi Rohingya mengalir ke Cox's Bazar, Bangladesh. Diperkirakan tak kurang dari satu juta pengungsi kini berada di wilayah tersebut. Menjadikannya kamp pengungsian terbesar di dunia saat ini.

Ada beberapa kamp pengungsian di Cox's Bazar. Tim Indonesia mendirikan posko kesehatan di Kamp Jamtoli, tempat pengungsian yang paling akhir berdiri. Tugas yang berat karena sarana kamp serba minim.

Sarana yang minim.

Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dengan atap ditutupi terpal. Tak ada fasilitas mewah di dalamnya. Cuma ada beberapa kursi plastik dan meja lipat serta tempat tidur darurat untuk memeriksa pasien.

Indonesia sebenarnya sempat mengirimkan bantuan tenda Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ke Bangladesh. Namun tenda yang memiliki kualitas baik itu terlihat malah digunakan oleh tentara Bangladesh di depan Kamp Kutupalong.

Jadi faforit pengungsi.

Posko kesehatan Indonesia itu jadi favorit pengungsi Rohingya untuk memeriksakan kesehatan. Setiap hari minimal ada 150 sampai 200 pasien berobat ke sana. Penyakit yang sering muncul adalah infeksi saluran pernapasan atas dan diare. Difteri juga berkembang di sini.

"Para pasien banyak yang tidak mau dirujuk berobat ke tempat lain. Sampai mereka bilang kami percaya dengan dokter dan obat dari Indonesia. Kami merasa terharu atas penghargaan itu," kata dokter Zee.

Mungkin karena latar belakang sesama Muslim dan pembawaan orang Indonesia yang ramah, para pengungsi Rohingya menjadi lebih dekat pada relawan Indonesia.

Banyak peristiwa yang sulit dilupakan dan membuat dada sesak.

Misalnya ada seorang anak yang duduk di posko sejak pagi hari. Dia terus berada di sana sampai sore hingga tak ada pasien tersisa dan posko hampir tutup.

Anak itu tak mau masuk karena tak mau mengganggu dokter yang dilihatnya sibuk. Baru setelah tak ada pasien lain dia berani masuk. Semua kaget melihat bocah itu menunggu begitu lama.

"Lukanya sampai sudah kering," kisah dokter Zee sedih saat mengobati bocah malang itu.

Cerita lain datang dari penerjemah tim Indonesia di sana. Remaja belasan tahun itu mengungkapkan rasa terima kasihnya bisa menerima para relawan dari Indonesia. Dengan begitu dia bisa terus mempraktikkan Bahasa Inggrisnya.

"Yang membuat saya sedih, dia tanya kira-kira kapan saya bisa sekolah lagi. Saya jawab itu nanti pasti bisa sekolah lagi. Sekarang yang penting kamu selamat dulu, keluarga selamat dulu. InsyaAllah nanti masih ada harapan," kata dia membesarkan hati.

Masalah yang harus dihadapi relawan.

Pemerintah Bangladesh hanya mengizinkan para relawan berada di kamp pengungsian dari pukul 10.00 pagi hingga pukul 17.00. Alasannya, tak ada listrik dan tak ada jaminan keamanan jika para relawan bermalam di camp. Mereka harus pulang ke penginapan dan kembali keesokan harinya.

Tak mudah juga mendapatkan visa ke Bangladesh. Negara ini hanya memberikan izin tinggal selama 14 hari pada relawan kemanusiaan. Itu pun dengan syarat yang cukup berbelit.

Para relawan rata-rata harus transit dulu di ibukota Dhaka, lalu baru terbang ke Cox's Bazar keesokan harinya. Begitu juga saat mereka kembali. Dihitung-hitung waktu efektif mereka di sana hanya 10 hari. Bayangkan betapa singkatnya waktu mereka di sana.

Seperti relawan lain, dokter Zee awalnya berniat langsung membantu kaum Rohingya di Rakhine. Namun Myanmar sama sekali menutup akses kemanusiaan di sana. Akhirnya seluruh bantuan internasional dipusatkan di Cox's Bazar, Bangladesh, wilayah yang berbatasan dengan Rakhine.

Rencana awal, tim ketujuh dari Indonesia ini harusnya berangkat bulan November 2017. namun visa tak kunjung keluar. Baru pertengahan Desember mereka bisa berangkat ke Bangladesh.


gambar via merdeka.com
Dengan keramahan khas Indonesia, tim berharap bisa mengurangi beban anak-anak itu.

Begitu tiba di sana, perasaannya teraduk-aduk melihat para pengungsi. Terutama anak-anak. Pemerintah Bangladesh memperkirakan ada 30.000 anak yatim piatu dan tak kurang dari 500.000 anak Rohingya di seluruh pengungsian.

Dia merangkul anak-anak Rohingya yang belum sepenuhnya bisa melupakan hal buruk di kampung halamannya. Tak cuma mengobati, di sela-sela kesibukan di camp, mereka juga mengajak anak-anak itu bermain. Ada juga yang mengajari mereka mengaji. Karena dekatnya, sampai ada anak Rohingya yang bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya.


"Kalau kita kelihatan tegang, atau menggunakan masker. Apalagi berbicara agak keras, mereka takut. Bahkan tak mau mendekat. Kondisinya seperti itu," katanya.

Harapan dokter Zee suatu saat anak-anak itu bisa kembali pulang ke rumah. Bermain dengan teman sebayanya dan kembali meneruskan sekolah. Dan semoga Tuhan menolong Bangsa Rohingya.